Oleh Bambang Tri Subeno, wartawan Suara Merdeka, Pemenang Pertama Lomba Penulisan Artikel Jurnalistik 2017.

Program amnesti atau pengampunan pajak telah berakhir pada 31 Maret 2017. Dari sisi deklarasi harta dan uang tebusan, bisa dibilang cukup berhasil; paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang pernah melaksanakan program itu. Bahkan, angkanya melampaui perkiraan berbagai kalangan dan pemerintah.

Meski demikian, nilai deklarasi harta dan uang tebusan bukanlah satu-satunya parameter keberhasilan program. Tak kalah penting adalah jumlah dana repatriasi, tingkat partisipasi wajib pajak, tambahan wajib pajak baru yang bisa dijaring, serta reformasi perpajakan.

Perlu diakui, jumlah dana repatriasi dan tingkat partisipasi wajib pajak di bawah target. Dari target repatriasi Rp 1.000 triliun ternyata hanya terealiasi Rp 146 triliun atau 14,6 persen. Dari segi partisipasi, peserta program sekitar 972 ribu amat rendah apabila dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang sekitar 36 juta atau sekitar 60 juta keluarga yang semestinya mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tambahan wajib pajak baru 53 ribu juga kecil sekali.

Tetapi, dari sisi reformasi pajak, di samping menata data dan sistem perpajakan serta tambahan wajib pajak baru yang bisa dijaring, keberhasilan program amnesti pajak yang tak kalah penting adalah memunculkan budaya pajak dan kesadaran membayar pajak untuk pembiayaan pembangunan di masyarakat, karena pajak menyumbang hampir 75 persen penerimaan APBN.

Langkah selanjutnya, pemerintah tengah menggodok reformasi sistem perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah membentuk tim khusus reformasi pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak. Tantangan yang dihadapi cukup besar, karena masih ada puluhan juta orang baik kaya maupun miskin yang berada di luar sistem pajak.

Parlemen pun tengah mempertimbangkan rancangan undang-undang yang akan merombak institusi perpajakan, dan terutama meningkatkan kredibilitasnya di mata pembayar pajak. Darussalam, konsultan di Danny Darusasalam Tax Centre menyatakan orang-orang tidak membayar pajak karena mereka percaya tidak akan tertangkap.

Tim reformasi pajak yang dibentuk akhir 2016 yang terdiri atas pejabat Kementerian Keuangan, penasihat Bank Dunia, dan wakil lembaga-lembaga lain menargetkan peningkatan rasio pajak menjadi 15 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020, atau meningkat dari sekitar 11 persen pada saat sekarang. Berdasarkan data Bank Dunia, rasio pajak rata-rata secara global sebesar 14,8 persen.

Namun, Bank Dunia memperkirakan Indonesia tahun ini masih belum mampu mencapai target pendapatan pajak, dan rasio pajak kemungkinan tetap sekitar 11 persen dari PDB. Direktur Jenderal Pajak dinilai juga bakal kesulitan dalam merealisasikan target rasio pajak karena tambahan wajib pajak baru dari program amnesti pajak kecil sekali.

Tambahan wajib pajak baru setelah program pengampunan pajak berakhir pada 31 Maret 2017 tercatat 52.757 dari total peserta 972.530 wajib pajak. Angka tersebut, menurut Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), tidak signifikan meningkatkan rasio pajak. Jumlah wajib pajak baru hanya sekitar 5 persen. Dengan persentase itu, kontribusi untuk meningkatkan rasio pajak sangat kecil.

Meningkatkan rasio pajak memang sangat penting untuk mendukung keberlanjutan fiskal karena kebutuhan pembiayaan pembangunan akan makin meningkat. Bukan hanya negara sedang berkembang seperti Indonesia, melainkan juga negara-negara maju yang mengalami krisis fiskal, terlebih yang tergolong berpendapatan rendah. Mereka harus meningkatkan rasio pajak kurang lebih 4 persen untuk mencapai Millenium Development Goals guna mengurangi kemiskinan dan membangun infrastruktur.

Namun, pada kenyataannya pencapaian rasio pajak sangat beragam. Mengapa negara berpendapatan rendah dan menengah, misalnya Indonesia, sulit menaikkan rasio pajak, sedangkan beberapa negara maju memiliki rasio pajak sangat tinggi?  Faktor-faktor apakah yang memengaruhi pencapaian rasio pajak?

Sofyan (2014) yang mengutip studi empiris Gupta (2007) di 105 negara berkembang dalam waktu 25 tahun menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi rasio pajak di antaranya pendapatan per kapita, komposisi output sektoral, tingkat perdagangan internasional, bantuan dan utang luar negeri, tingkat ekonomi informal, serta faktor institutional, khususnya korupsi dan stabilitas politik.

Pendapatan per kapita menunjukkan kemajuan ekonomi secara keseluruhan dari suatu negara; makin tinggi pendapatan per kapita akan dinilai kian makmur. Komposisi output sektoral menunjukkan struktur  perekonomian. Negara yang lebih bergantung pada pertanian cenderung lebih sulit menarik pajak; negara agraris cenderung menghasilkan output yang lebih kecil dibanding negara industri, karena produk pertanian memiliki nilai tambah rendah dan melibatkan banyak pelaku.

Faktor tingkat perdagangan internasional yang menunjukkan porsi ekspor dan impor suatu negara juga berpengaruh terhadap rasio pajak. Apakah berpengaruh positif atau negatif, masih menjadi perdebatan. Liberalisasi perdagangan baik dalam skala internasional melalui World Trade Organization (WTO), Free Trade Agreement (FTA) semisal ASEAN-Tiongkok, atau FTA model bilateral agreement Indonesia-Jepang, memberikan pengaruh pada pendapatan dari pajak impor yang berlainan.

Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor institutional. Krisis fiskal yang dialami beberapa negara Eropa, terutama Yunani, karena ketidakmampuannya menghimpun penerimaan secara mandiri melalui pajak yang banyak dipengaruhi oleh faktor institutional, terutama korupsi.

Pencapaian rasio pajak yang optimal dipengaruhi pula oleh faktor lain, yaitu dari sisi strategi dan kebijakan, serta proses bisnis yang terjadi dalam suatu otoritas pajak. Rasio pajak juga sangat berhubungan dengan tax compliance. Plumley (1996) mengungkapkan income tax compliance dipengaruhi oleh banyak hal, mulai audit coverage sampai status perkawinan.

Wajib pajak yang berstatus belum menikah memiliki compliance rate lebih rendah dibandingkan dengan yang sudah menikah. Namun, ditekankan bahwa peran data pihak ketiga sangat penting, karena makin banyak data pihak ketiga yang masuk dalam sistem perpajakan, compliance level dan rasio pajak makin tinggi akibat wajib pajak sulit menyembunyikan penghasilannya

Dalam konteks reformasi perpajakan, saat ini pemerintah fokus pada dua hal, yakni quick wins (kemenangan atau keberhasilan secara cepat) dan enforcement (penindakan).

Langkah tersebut ditempuh karena tujuan reformasi pajak adalah meningkatkan penerimaan tanpa membuat pelaku ekonomi merasa dikejar-kejar. Strateginya, presisi dinaikkan dan cara kerja terus dirapikan.

Untuk mencapai tahapan tersebut, komitmen seluruh pihak dibutuhkan supaya institusi pajak lebih kuat, kredibel, dan akuntabel. Perbaikan paradigma itu, dalam jangka panjang diharapkan bisa mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak serta meningkatkan kepercayaan wajib pajak kepada institusi perpajakan.

Untuk jangka pendek, reformasi perpajakan diharapkan bisa mengamankan penerimaan pada 2017 melalui peningkatan mutu pelayanan, penguatan pengawasan dan penegakan hukum, peningkatan kerja sama dengan pihak ketiga, serta memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk memperoleh keadilan perpajakan.

Supaya tujuan itu tercapai, pemerintah menyiapkan sejumlah skema, misalnya reformasi di bidang teknologi, basis data, dan proses bisnis. Salah satu yang telah direalisasikan adalah bukti potong secara elektronik atau e-bukti potong. Kemudian, platform identitas antara pajak dan bea cukai; sekarang bea cukai tak lagi memakai nomor induk kepabeanan namun NPWP.

Fokus pemerintah juga diarahkan ke perbaikan  beberapa regulasi perpajakan, di antaranya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), PPh, dan PPN.

Mengenai wacana Ditjen Pajak lepas dari Kementerian Keuangan dan berdiri sendiri, sebenarnya lebih penting bagaimana membangun institusi pajak yang kuat dan kredibel. Sebab, pajak tidak berdiri sendiri, tetapi jadi satu dalam kebijakan fiskal pemerintah sehingga mesti koordinasi.

Proses reformasi perpajakan tampak masih perlu ada pemprioritasan, sehingga garis kebijakan yang dibuat pemerintah bisa tepat sasaran.

Saat ini, banyak sekali yang menjadi fokus pemerintah, seolah-olah semua ingin dilakukan;  dikhawatirkan justru gagal fokus menjalankan program yang dirancang.

Salah satu yang penting diprioritaskan adalah  soal implementasi single identity number (SIN) atau nomer identitas tunggal. Penerapannya merupakan terobosan dan mematahkan mitos bahwa implementasi kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Jika terealisasi, pengawasan akan  jauh lebih efektif dan wajib pajak juga lebih patuh karena sistem itu terhubung dengan NPWP.

Dalam jangka pendek, rasio pajak memang masih akan berkutat di kisaran 11 persen. Berarti, penerimaan dari sektor pajak belum mampu menutup kebutuhan APBN, sehingga perlu ditambal dengan utang. Kualitas pembangunan untuk mengatasi kesenjangan dan mengurangi angka kemiskinan pun belum sebagaimana yang diharapkan.

Tetapi, dalam jangka panjang, melalui reformasi perpajakan diharapkan angka rasio pajak sebesar 15 persen akhirnya bisa tergapai; mudah-mudahan sesuai dengan target pada 2020. Dua hal yang penting mendapatkan penekanan adalah mengejar pengemplang pajak, khususnya yang besar-besar, serta ekstensifikasi atau perluasan pajak.

Jangan lupa, sosialisasi budaya pajak secara masif kepada masyarakat akan menjadikan pajak yang selama ini masih merupakan potensi bisa diubah menjadi riil atau nyata. Semoga!

Sumber : http://www.pajak.go.id/content/article/reformasi-perpajakan-rasio-pajak-dan-pembangunan

Satria

Satria

Sejak awal karir, Saya telah bekerja di beberapa firma akuntansi dan konsultan pajak terkemuka di Indonesia. Selama bertahun-tahun, Saya telah memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang mendalam dalam berbagai aspek pajak, termasuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak lainnya.